7 KEUTAMAAN BULAN RAMADHAN DAN AMALAN SUNNAH NABI
7 KEUTAMAAN BULAN RAMADHAN DAN AMALAN SUNNAH NABI
Ramadhan adalan
bulan kesembilan dalam penanggalan Hijriyah (sistem penanggalan Islam).
Bulan ini sangat istimewa bagi umat Islam karena terdapat banyak
keutamaan di dalamnya. Ibarat petani, Bulan Ramadhan adalah saat panen
raya. Dibaratkan panen raya disebabkan bulan ini merupakan waktu dimana
berbagai amal kebaikan dilipat gandakan pahalanya jauh melebihi
waktu-waktu diluar Ramadhan. Berikut merupakan keutamaan-keutamaan Bulan
Ramadhan tersebut;
1. Ramadhan adalah Bulan diturunkannya Al-Quran
“Beberapa hari yang ditentukan itu ialah
bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai
petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (QS.
Al-Baqarah 185).
2. Bulan Pendidikan untuk Mencapai Ketaqwaan
“Hai orang-orang yang beriman diwajibkan
atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang yang
sebelum kamu agar kamu bertaqwa (QS. Al Baqarah 183)
3. Bulan Penuh Keberkahan
“Sesungguhnya telah datang kepadamu bulan
yang penuh berkah. Allah mewajibkan kamu berpuasa, karena dibuka pintu-
pintu surga, ditutup pintu-pintu neraka, dan dibelenggu syaitan-
syaitan, serta akan dijumpai suatu malam yang nilainya lebih berharga
dari seribu bulan. Barangsiapa yang tidak berhasil mem¬peroleh
kebaikannya, sungguh tiadalah ia akan mendapatkan itu untuk
selama-lamanya.” (HR Ahmad, An-Nasa’l, dan Baihaqi).
4. Ramadhan Bulan Pengampunan Dosa
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan ihtisab, maka akan diampuni dosa-dosanya yang lalu.” (HR. Bukhari)
“Shalat yang lima waktu, dari jumat ke
jumat, dan Ramadhan ke Ramadhan, merupakan penghapus dosa di antara
mereka, jika dia menjauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim)
5. Bulan Dilipatgandakanya Amal Sholeh
Khutbah Rasululah saw pada akhir bulan
Sa`ban “Hai manusia, bulan yang agung, bulan yang penuh berkah telah
menaung. Bulan yang didalamnya ada suatu malam yang lebih baik dari
seribu bulan. Bulan yang padanya Allah mewajibkan berpuasa. Qiyamullail
disunnahkan. Barang siapa yang pada bulan itu mendekatkan diri kepada
Allah dengan suatu kebaikan, nilainya seperti orang yang melakukan
perbuatan yang diwajibkan pada bulan lainnya. Dan barang siapa yang
melakukan suatu kewajiban pada bulan itu,nilainya sama dengan tujuh
puluh kali lipat dari kewajiban yang dilakukannya pada bulan lainnya.
Keutamaan sedekah adalah sedekah pada bulan Ramadhan (HR.
Bukhori-Muslim).
6. Dibuka Pintu Surga, Ditutup Pintu Neraka
“Jika datang Ramadhan, maka dibukalah pintu-pintu surga, ditutup pintu-pintu neraka dan syetan dibelenggu.” (HR. Muslim).
7. Terdapat Malam yang Penuh Kemuliaan dan Keberkahan yaitu Lailatul Qadar
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya
(Al Quran) pada lailatul qadar (malam kemuliaan). Dan tahukah kamu
apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu
bulan.” (QS. Al Qadr 1-3)
Tujuh keutamaan tersebut merupakan sebuah
keberkahan dan kerahmatan yang diberikan oleh Allah kepada hambanya,
tetapi semua itu akan menjadi sebuah keutamaan apabila dijalankan dengan
benar dan dengan menggunakan syarat-syarat yang sesuai dengan ketentuan
yang sidah ditetapkan, mulai dari etika menjalankan puasa Ramadhan,
menjauhi segala larangan-larangan yang dapat membatalkan puasa itu
sendiri. Selain itu pula harus mengikuti estetika agar kemuliaan bulan
Ramadhan itu semakin terasa bagi hamba-Nya yang beriman.
Untuk menjadikan bulan Ramadhan tersebut
terasa kemuliaannya, maka salah satu yang harus dilakukan adalah dengan
menjalankan beberapa amalan yang menjadikan kita semakin dekat dan
semakin di cintai oleh Allah. Beberapa amalan tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Al-Qiyam/shalat malam/Tarawih
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang menunaikan shalat malam
di bulan Ramadan dengan keimanan dan mengharap pahala, diampuni
dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Allah Ta’ala berfirman,
وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ
يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ
قَالُوا سَلَامًا وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا
“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha
Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan
rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka
mengucapkan kata-kata yang baik. Dan orang yang melalui malam hari
dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka.” (QS. Al-Furqan: 63-64)
Qiyamul lail sudah menjadi rutinitas Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya. ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata, “Jangan tinggalkan shalat malam, karena sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak pernah meninggalkannya. Apabila beliau sakit atau melemah maka beliau shalat dengan duduk.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Umar bin Khathab Radhiyallahu ‘Anhu
biasa melaksanakan shalat malam sebanyak yang Allah kehendaki sehingga
apabila sudah masuk pertengahan malam, beliau bangunkan keluarganya
untuk shalat, kemudian berkata kepada mereka, “al-shalah, al-Shalah.”
Lalu beliau membaca:
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu
mendirikan salat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak
meminta rezeki kepadamu, Kami lah yang memberi rezeki kepadamu. Dan
akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. Thaahaa: 132)
Dan Umar bin Khathab juga biasa membaca ayat berikut:
أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ
“(Apakah kamu hai orang musyrik yang
lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam
dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan
mengharapkan rahmat Tuhannya?” (QS. Al-Zumar: 9)
Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma berkata, “Luar biasa Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘Anhu”
Ibnu Abi Hatim berkata, “Sesungguhnya Ibnu Umar berkata seperti itu
karena banyaknya shalat malam dan membaca Al-Qur’an yang dikerjakan
amirul Mukminin Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘Anhu sehingga beliau membaca Al-Qur’an dalam satu raka’at.”
Dan bagi siapa yang melaksanakan shalat Tarawih hendaknya mengerjakannya bersama jama’ah sehingga akan dicatat dalam golongan qaimin, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
pernah bersabda, “Siapa yang shalat bersama imamnya sehingga selesai,
maka dicatat baginya shalat sepanjang malam.” (HR. Ahlus Sunan)
2. Bersedekah
Nabi SAW. sebagai teladan kita
telah mencontohkan akhlak yang luar biasa yaitu kedermawanan. Hal itu
semakin menjadi-jadi ketika bulan Ramadhan.
Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, menceritakan:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَأَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي
رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ وَكَانَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام
يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ
فَلَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدُ
بِالْخَيْرِ مِنْ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ
Nabi SAW. adalah manusia yang
paling dermawan, dan kedermawanannya semakin menjadi-jadi saat Ramadhan
apalagi ketika Jibril menemuinya. Dan, Jibril menemuinya setiap malam
bulan Ramadhan dia bertadarus Al-Quran bersamanya. Maka, Rasulullah SAW. benar-benar sangat dermawan dengan kebaikan laksana angin yang berhembus. (HR. Bukhari No. 3220)
3. Memberikan Makanan Buat Orang Yang Berbuka Puasa
Dari Zaid bin Khalid Al-Juhani Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
Barang siapa yang memberikan makanan
untuk berbuka bagi orang berpuasa maka dia akan mendapatkan pahala
sebagaimana orang tersebut, tanpa mengurangi sedikit pun pahala orang
itu. (HR. At Tirmidzi No. 807, katanya: hasan shahih. Ahmad No. 21676, An-Nasa’i dalam As Sunan Al-Kubra No. 3332. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 3952. Dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ No. 6415. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan: hasan lighairih. Lihat ta’liq Musnad Ahmad No. 21676, Al-Bazzar dalam Musnadnya No. 3775)
Para ulama berbeda pendapat tentang
batasan “memberikan makanan untuk berbuka”. Sebagian menilai itu adalah
makanan yang mengenyangkan selayaknya makanan yang wajar. Sebagian lain
mengatakan bahwa hal itu sudah cukup walau memberikan satu butir kurma
dan seteguk air. Pendapat yang lebih kuat adalah –Wallahu A’lam-
pendapat yang kedua, bahwa apa yang tertulis dalam hadits ini sudah
mencukupi walau sekadar memberikan seteguk air minum dan sebutir kurma,
sebab hal itu sudah cukup bagi seseorang dikatakan telah ifthar (berbuka puasa).
4. Umrah pada bulan Ramadhan
Telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, beliau bersabda,
عُمْرَةً فِي رَمَضَانَ حَجَّةٌ
“Umrah pada bulan Ramadhan menyerupai haji.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim) dalam riwayat lain, “seperti haji
bersamaku.” Sebuah kabar gembira untuk mendapatkan pahala haji bersama
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
5. Memperbanyak Doa
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
ثَلَاثَةٌ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالْإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُوم
Ada tiga manusia yang doa mereka tidak
akan ditolak: 1. Doa orang yang berpuasa sampai dia berbuka, 2. Pemimpin
yang adil, 3. Doa orang teraniaya. (HR. At Tirmidzi No. 2526, 3598,
katanya: hasan. Ibnu Hibban No. 7387, Imam Ibnul Mulqin mengatakan: “hadits ini shahih.” Lihat Badrul Munir, 5/152. Dishahihkan oleh Imam Al-Baihaqi. Lihat Shahih Kunuz As sunnah An-Nabawiyah, 1/85. Sementara Syaikh Al-Albani mendhaifkannya. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 2526)
Berdoa di waktu berbuka puasa juga diajarkan oleh Nabi SAW. Berikut ini adalah doanya:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ ذَهَبَ الظَّمَأُ
وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, jika sedang berbuka puasa dia membaca: “Dzahaba Azh Zhama’u wab talatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah.”
(HR. Abu Daud No. 2357, Al-Baihaqi dalam As Sunan Al-Kubra No. 7922,
Ad-Daruquthni, 2/185, katanya: “isnadnya hasan.” An-Nasa’i dalam As
sunan Al-Kubra No. 3329, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak No. 1536,
katanya: “Shahih sesuai syarat Bukhari- Muslim”. Al-Bazzar No. 4395.
Dihasankan Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ No. 4678)
Sedangkan doa berbuka puasa: Allahumma
laka shumtu … dst, dengan berbagai macam versinya telah didhaifkan para
ulama, baik yang dari jalur Muadz bin Zuhrah secara mursal, juga jalur
Anas bin Malik, dan Ibnu Abbas. (Lihat Al-Hafizh Ibnu Hajar, At Talkhish
Al-Habir, 2/444-445. Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, 1/62. Imam Abu
Daud,Al-Maraasiil, 1/124, Imam Al-Haitsami, Majma’ Az Zawaid, 3/371. Syaikh Al-Albani juga mendhaifkan dalam berbagai kitabnya)
6. Menyegerakan Berbuka Puasa
Dari ‘Amru bin Maimun Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
كان أصحاب محمد صلى الله عليه و سلم أعجل الناس إفطارا وأبطأهم سحورا
Para sahabat Muhammad SAW. adalah
manusia yang paling bersegera dalam berbuka puasa, dan paling akhir
dalam sahurnya. (HR. Al-Baihaqi dalam As Sunan Al-Kubra No. 7916.
Al-Faryabi dalam Ash Shiyam No. 52. Ibnu Abi Syaibah
dalam Al-Mushannaf No. 9025)
Imam An-Nawawi mengatakan: “sanadnya
shahih.” (Lihat Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 6/362), begitu pula
dishahihkan oleh Imam Ibnu Abdil Bar, bahkan menurutnya keshahihan
hadits tentang bersegera buka puasa dan mengakhirkan sahur
adalah mutawatir. (Lihat Imam Al-‘Aini, ‘Umdatul Qari, 17/9. Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 4/199).
7. Duduk di Masjid Sampai Matahari Terbit
Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,
apabila shalat Shubuh beliau duduk di tempat shalatnya hinga matahari
terbit (HR. Muslim). Imam al-Tirmidzi meriwayatkan dari Anas, dari
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, beliau bersabda,
مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِي
جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ
صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ تَامَّةٍ
تَامَّةٍ تَامَّةٍ
“Siapa shalat Shubuh dengan berjama’ah,
lalu duduk berdzikir kepada Allah hingga matahari terbit, lalu shalat
dua raka’at, maka baginya seperti pahala haji dan umrah sempurna,
sempurna, sempurna.” (Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
Keutamaan ini berlaku pada semua hari,
lalu bagaimana kalau itu dikerjakan di bulan Ramadhan? Maka selayaknya
kita bersemangat menggapainya dengan tidur di malam hari, meneladani
orang-orang shalih yang bangun di akhirnya, dan menundukkan nafsu untuk
tunduk kepada Allah dan bersemangat untuk menggapai derajat tinggi di
surga.
8. I’tikaf di – ‘Asyrul Awakhir
Dalilnya berdasarkan Al-Quran, As-Sunnah, dan Ijma’, yakni sebagai berikut:
وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
Janganlah kalian mencampuri mereka (Istri), sedang kalian sedang I’tikaf di masjid. (Al-Baqarah : 187)
Dari ‘Aisyah Radiallahu ‘Anha:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ
رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ
بَعْدِهِ
Bahwasanya Nabi SAW. beri’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan sampai beliau diwafatka Allah, kemudian istri-istrinya pun I’tikaf setelah itu. (HR. Bukhari, No. 2026, Muslim No. 1171, Abu Daud No. 2462. Ahmad No. 24613, dan lainnya)
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانٍ عَشْرَةَ
أَيَّامٍ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ
عِشْرِينَ يَوْمًا
Dahulu Nabi SAW. I’tikaf di setiap Ramadhan 10 hari, tatkala pada tahun beliau wafat, beliau
I’tikaf 20 hari. (HR. Bukhari No. 694, Ahmad No. 8662, Ibnu Hibban No.
2228, Al-Baghawi No. 839, Abu Ya’la No. 5843, Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashbahan, 2/53)
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menceritakan adanya ijma’ tentang syariat I’tikaf:
وقد أجمع العلماء على أنه مشروع، فقد كان النبي صلى الله عليه وسلم يعتكف في كل رمضان عشرة أيام، فلما كان العام الذي قبض فيه اعتكف عشرين يوما.
Ulama telah ijma’ bahwa I’tikaf adalah disyariatkan, Nabi SAW. beri’tikaf setiap Ramadhan 10 hari, dan 20 hari ketika tahun beliau wafat. (Fiqhus Sunnah, 1/475)
9. Menghidupkan Lailatul Qadar
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al-Qadar: 1-3)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Dan siapa shalat pada Lailatul Qadar
didasari imandan mengharap pahala, diampuni dosa-dosanya yang telah
lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Adalah Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam berusaha mencari Lailatul Qadar dan memerintahkan para
sahabatnya untuk mencarinya. Beliau juga membangunkan keluarganya pada
malam sepuluh hari terakhir dengan harapan mendapatkan Lailatul Qadar.
Dalam Musnad Ahmad, dari Ubadah secara marfu’, “Siapa yang shalat
untuk mencari Lailatul Qadar, lalu ia mendapatkannya, maka diampuni
dosa-dosa-nya yang telah lalu dan akan datang.” (Di dalam Sunan Nasai
juga terdapat riwayat serupa, yang dikomentari oleh Al-hafidz Ibnul
Hajar: isnadnya sesuai dengan syarat Muslim).
Terdapat beberapa keterangan, sebagian ulama salaf dari kalangan sahabat tabi’in, mereka mandi dan
memakai wewangian pada malam sepuluh hari terakhir untuk mencari
Lailatul Qadar yang telah Allah muliakan dan tinggikan kedudukannya.
Wahai orang-orang yang telah menyia-nyiakan umurnya untuk sesuatu yang
tak berguna, kejarlah yang luput darimu pada malam kemuliaan ini.
Sesungghnya satu amal shalih yang dikerjakan di dalamnya adalah nilainya
lebih baik daripada amal yang dikerjakan selama seribu bulan di luar
yang bukan Lailatul Qadar. Maka siapa yang diharamkan mendapatkan
kebaikan di dalamnya, sungguh dia orang yang jauhkan dari kebaikan.
Lailatul Qadar berada di sepuluh hari
terakhir Ramadhan, tepatnya pada malam-malam ganjilnya. Dan malam yang
paling diharapkan adalah malam ke 27-nya, sebagaimana yang diriwayatkan
Muslim, dari Ubai bin Ka’ab Radhiyallahu ‘Anhu, “Demi Allah, sungguh aku tahu malam keberapa itu, dia itu malam yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
memerintahkan kami untuk shalat, yaitu malam ke-27.” Dan Ubai bersumpah
atas itu dengan mengatakan, “Dengan tanda dan petunjuk yang telah
dikabarkan oleh Ramadhan Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada kami, matahari terbit di pagi harinya dengan tanpa sinar yang terik/silau.”
Dari ‘Aisyah, ia berkata: Wahai
Rasulullah, jika aku mendapatkan Lailatul Qadar, apa yang harus aku
baca? Beliau menjawab, “Ucapkan:
اللَّهُمَّ إنَّك عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha
Pemaaf, menyukai pemberian maaf maka ampunilah aku.” (HR. Ahmad dan
al-Tirmidzi, dishahihkan Al-Albani)
Hukumnya
Hukumnya adalah sunnah alias tidak
wajib, kecuali I’tikaf karena nazar. Kesunahan ini juga berlaku bagi
kaum wanita, dengan syarat aman dari fitnah, dan izin dari walinya, dan
masjidnya kondusif.
Imam Asy-Syaukani Rahimahullah mengatakan:
وقد وقع الإجماع على أنه ليس بواجب ، وعلى أنه لا يكون إلا في مسجد
Telah terjadi ijma’ bahwa I’tikaf bukan kewajiban, dan bahwa dia tidak bisa dilaksanakan kecuali di masjid. (Fathul Qadir, 1/245)
Namun jika ada seorang yang bernazar untuk beri’tikaf, maka wajib baginya beri’tikaf.
Khadimus Sunnah Asy Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan:
الاعتكاف ينقسم إلى مسنون
وإلى واجب، فالمسنون ما تطوع به المسلم تقربا إلى الله، وطلبا لثوابه،
واقتداء بالرسول صلوات الله وسلامه عليه، ويتأكد ذلك في العشر الاواخر من
رمضان لما تقدم، والاعتكاف الواجب ما أوجبه المرء على نفسه، إما بالنذر
المطلق، مثل أن يقول: لله علي أن أعتكف كذا، أو بالنذر المعلق كقوله: إن
شفا الله مريضي لاعتكفن كذا. وفي صحيح البخاري أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ” من نذر أن يطيع الله فليطعه “
I’tikaf terbagi menjadi dua bagian; sunah
dan wajib. I’tikaf sunah adalah I’tikaf yang dilakukan secara suka rela
oleh seorang muslim dalam rangka taqarrub ilallahi (mendekatkan
diri kepada Allah), dalam rangka mencari pahala-Nya dan mengikuti sunah
Rasulullah SAW. Hal itu ditekankan pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan
sebagaimana penjelasan sebelumnya.
I’tikaf wajib adalah apa-apa yang
diwajibkan seseorang atas dirinya sendiri, baik karena nazar secara
mutlak, seperti perkataan: wajib atasku untuk beri’tikaf sekian karena Allah. Atau karena nazar yang mu’alaq (terkait dengan sesuatu), seperti perkataan: jika Allah menyembuhkan penyakitku saya akan I’tikaf sekian ..
Dalam shahih Bukhari disebutkan, bahwa Nabi SAW. bersabda: “Barang siapa yang bernadzar untuk mentaati Allah maka taatilah (tunaikanlah).” (Fiqhus Sunnah, 1/475).
Selain dari beberapa amalan diatas yang
menjadi anjuran dalam bulan puasa, maka seorang hamba pun juga harus
menghindari beberapa pantangan yang harus dihindari dalam puasa bulaln
Ramadhan. Di anatara pantangan tersebut adalah semua perbuatan yang
dapat menjadikan puasa itu batal, dianataranya adalah iri, dengki,
ghibah, dll, yang menjadikan seorang hamba semakin jauh dari Sang
Penciptanya.
7 KEUTAMAAN BULAN RAMADHAN DAN AMALAN SUNNAH NABI
Reviewed by Unknown
on
07.20.00
Rating:
Tidak ada komentar: