Blogger templates

Kisah Ayman, Pria Palestina yang Menjalani Hidup di Amerika

Cleveland - Menjadi seorang pendatang dan menjalani kehidupan di negeri orang tidak selalu menjadi perkara mudah. Apalagi menjadi muslim yang merupakan minoritas di negara yang mayoritasnya berpeduduk non muslim seperti Amerika Serikat.

Ayman Alkayali, pria Palestina yang berjuang dengan segala cara untuk dapat hidup dan beradaptasi dengan kehidupan di Amerika Serikat. Kedua orang tua Ayman lahir di Palestina, ibunya di daerah Jaffa dan ayahnya di Ramla. Pada waktu nakba (eksodus warga Palestina tahun 1948), mereka terpaksa pindah ke Syria, dan di waktu yang bersamaan mereka bermigrasi ke Kuwait kemudian ke Tripoli, Libya.

"Kami adalah salah satu keluarga Palestina pertama yang pindah ke Libya," kata Ayman seperti dilansir oleh Aljazeera, Sabtu (11/6/2016).

Ketika Ayman berumur 16 tahun, ia meninggalkan Libya dan mempelajari arsitektur Jerman di Wina, Austria. Mulai dari sinilah ia merasakan kesulitan untuk hidup di negara orang lain.

"Kalau kamu tidak merasa cocok, kamu akan selalu merasa sebagai pendatang atau orang asing. Meskipun mereka mengetahui namamu, mereka akan tetap memanggilmu 'orang asing', aku tidak menyukainya," tuturnya.

Ayman pernah bertanya pada sepupunya yang belajar di Cleveland, Ohio tentang bagaimana keadaan di Amerika Serikat, dan meminta izin pada ayahnya untuk pindah ke sana.

Ketika sampai di AS, Ayman belajar bahasa Inggris di pusat pembelajaran untuk imigran dan kemudian mendaftar di Program Teknik Biodemik di Case Western University. Seperti yang lainnya, ia menghadiri kelas, mencari pekerjaan untuk mendapatkan uang.

Ketertarikannya di teknik biodemik ternyata tidak bertahan lama karena itu ia pindah ke teknik elektro dan kemudian ke teknik mekanik, tetapi hasilnya sama, ia tidak merasa nyaman.

Sebelumnya ia tidak pernah merasa tertarik dengan seni, namun kemudian ia berteman dengan seorang gadis yang menganjurkannya untuk mengeksplor kemampuannya di bidang lukis dan hasilnya ia tidak bisa berhenti.

"Akhirnya aku mengambil kelas pembuatan keramik dan aku jatuh cinta. Aku benar-benar jatuh cinta pada seni dan aku berpikir untuk meneruskan di seni," jelas Ayman.

Keputusan Ayman untuk meninggalkan universitas dan menjadi pekerja seni ternyata tidak didukung oleh keluarganya. Ayahnya yang bergelut di bidang teknik sipil dan ibunya yang bekerja di PBB, selalu menekankan padanya tentang pentingnya pendidikan.

"Kami adalah orang Palestina, kami menghadapi berbagai penderitaan dan salah satu cara untuk melawan hal tersebut adalah dengan jalur pendidikan, dengan itu kami akan mendapatkan pekerjaan yang baik. Jadi kebanyakan orang adalah seorang insinyur atau dokter, pengacara, kau tahu lah, pekerjaan-pekerjaan tingkat tinggi," jelas Ayman.

Sekalipun Ayman merasa bahwa seni sebagai sebuah bentuk terapi baginya, namun akhirnya ia mengikuti saran ayahnya. Ia kemudian mengambil kursus bisnis adminisrasi di sebuah komunitas.

Ayman kemudian melanjutkan untuk berkarya di bidang seni. Untuk membayar tagihan-tagihannya, ia bekerja sebagai koki di sebuah restoran Italia di Little Italy, Cleveland, di mana ia juga tinggal di sana dan menyewakan studio seni keramik.

"Sebelumnya tidak pernah terpikirkan olehku untuk memasak, tapi aku suka memasak," tuturnya.

Pada Agustus 2001, Ayman membuka sebuah Tea House bernama Algebra di Little Italy. Pintu depan, meja-meja dan rak-rak di sana merupakan hasil karya Ayman sendiri. Ia juga mengecat seluruh dinding sendiri. Di sana terdapat banyak rak yang berisikan buku-buku puisi, sampai buku mengenai arsitektur Islam dan masakan Palestina.

Di awal-awal keberadaan Algebra, Ayman harus menghadapi beberapa perlawanan. Banyak tetangganya yang tidak menginginkan Ayman berada di sana. Mereka memaksanya pergi dan mereka juga menghina secara rasis.

"Aku harus bertahan dan melewati semua itu selama 3 tahun pertama. Syukurnya, ada beberapa penduduk yang mendukungku, tanpa mereka, semua akan terasa lebih sulit," cerita Ayman.

Dua minggu setelah Algebra buka, World Trade Center diserang. Itu merupakan keadaan sulit lainnya bagi Ayman. Ia harus berjuang secara finansial karena pada awal berdirinya Algebra tidak menghasilkan uang. Untuk membayar biaya sewa dan karyawan-karyawannya, Ayman akhirnya harus bekerja di konstruksi, membersihkan garasi dan mengecat rumah.

"Selama beberapa tahun, kami harus bertahan bulan demi bulan," jelas Ayman.

Lima belas tahun kemudian, Ayman merasa Algebra adalah bagian kuat dari komunitas. "Kami meiliki reputasi yang bagus, kami ikut diskusi bila terdapat isu di lingkungan yang harus diselesaikan. Kami merupakan salah satu lading bisnis tertua di lingkungan. Mereka menerima kami dengan apa adanya," pungkasnya.

Ayman lahir sebagai seorang Muslim. Namun di waktu kecil, orang tuanya tidak berperilaku sebagai seorang muslim.

"Pada waktu itu, sekitar tahun 1970 dan 1980-an, banyak orang Arab yang mulai mengikuti gaya kebarat-baratan. Mereka percaya pada agama sekuler. Banyak dari mereka yang berpikir untuk meninggalkan Islamdan berpikir bahwa Islam itu agama yang terbelakang," jelasnya.

Kemudian Ayman mulai mempelajari Islam lebih dalam dan menemukan cahaya terang dan menyadari bahwa agamanya itu sangatlah indah.
Kisah Ayman, Pria Palestina yang Menjalani Hidup di Amerika Kisah Ayman, Pria Palestina yang Menjalani Hidup di Amerika Reviewed by Unknown on 07.14.00 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Find us on Facebook

Diberdayakan oleh Blogger.